Mekanisme Repeat Order dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Indonesia: Analisis Komprehensif

1. Pendahuluan
Signifikansi Repeat Order dalam Ekosistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia
Pengadaan barang/jasa pemerintah memegang peranan krusial dalam roda pembangunan nasional dan pelayanan publik. Efisiensi dan efektivitas dalam prosesnya menjadi tuntutan utama untuk memastikan setiap rupiah anggaran negara memberikan manfaat maksimal. Dalam konteks ini, metode Repeat Order (RO) atau Permintaan Berulang hadir sebagai salah satu instrumen yang bertujuan untuk mengakselerasi proses pengadaan 1 sekaligus mendorong penyedia barang/jasa untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan kinerjanya.1 Pada hakikatnya, Repeat Order merupakan salah satu bentuk dari metode Penunjukan Langsung yang diterapkan dengan kriteria dan kondisi spesifik, memungkinkan pemerintah untuk kembali menunjuk penyedia yang sama atas pekerjaan yang telah berhasil dilaksanakan sebelumnya.
Penggunaan Repeat Order yang efektif dapat menjadi salah satu tolok ukur kematangan sistem pengadaan pada suatu instansi. Hal ini menandakan bahwa instansi tersebut telah memiliki mekanisme evaluasi kinerja penyedia yang mapan, seperti melalui Sistem Informasi Kinerja Penyedia (SIKaP), serta kemampuan perencanaan kebutuhan yang baik. Ketika Repeat Order sering berhasil diimplementasikan, ini dapat mencerminkan kemampuan entitas pengadaan dalam mengidentifikasi penyedia yang berkualitas dan mempertahankan hubungan kerja yang produktif. Sebaliknya, kesulitan dalam penerapan atau tingginya angka kegagalan Repeat Order dapat mengindikasikan permasalahan dalam proses penilaian kinerja awal penyedia atau ketidakstabilan dalam perencanaan kebutuhan. Dengan demikian, keberhasilan implementasi Repeat Order bukan hanya soal kecepatan, tetapi juga cerminan dari kualitas tata kelola pengadaan secara keseluruhan.
Lebih lanjut, dinamika pengaturan mengenai Repeat Order dalam kerangka regulasi pengadaan di Indonesia menunjukkan adanya upaya berkelanjutan dari pemerintah untuk mencapai keseimbangan. Di satu sisi, terdapat kebutuhan akan efisiensi dan kecepatan yang dapat ditawarkan oleh mekanisme Repeat Order. Di sisi lain, terdapat keharusan untuk tetap menjaga prinsip-prinsip fundamental pengadaan, yaitu persaingan usaha yang sehat, transparansi, dan akuntabilitas, guna mencegah potensi risiko penyalahgunaan. Pembatasan frekuensi, jangka waktu penggunaan, serta penegasan kriteria dalam berbagai peraturan, termasuk yang terkini, adalah manifestasi dari upaya proaktif pemerintah dalam menavigasi dilema ini. Pelaku pengadaan dituntut untuk memahami bahwa Repeat Order bukanlah sebuah jalan pintas yang terbebas dari pengawasan, melainkan sebuah alat strategis yang penggunaannya diatur secara ketat demi menjaga integritas sistem pengadaan barang/jasa pemerintah.
Tujuan dan Struktur Laporan
Laporan ini bertujuan untuk menyajikan analisis yang komprehensif mengenai mekanisme Repeat Order dalam pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia. Pembahasan akan mencakup definisi operasional, evolusi kerangka regulasi yang mendasarinya, kriteria dan batasan penerapannya untuk berbagai jenis pengadaan, hingga prosedur pelaksanaan yang detail. Lebih lanjut, laporan ini akan menganalisis keunggulan dan potensi risiko dari implementasi Repeat Order, membandingkannya dengan metode pengadaan lainnya, serta mengidentifikasi tantangan-tantangan yang sering dihadapi dalam praktiknya di Indonesia. Secara khusus, laporan ini juga akan mengkaji implikasi dari Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 terhadap mekanisme Repeat Order.
Struktur laporan ini akan dimulai dengan pendahuluan yang menguraikan signifikansi Repeat Order. Bagian selanjutnya akan mendalami definisi, konsep, dan landasan hukum yang terus berkembang. Kemudian, akan dibahas secara rinci mengenai kriteria, ruang lingkup, dan batasan penerapan Repeat Order. Mekanisme dan prosedur pelaksanaan akan diuraikan pada bagian berikutnya, diikuti dengan analisis komparatif, keunggulan, risiko, dan tantangan. Implikasi dari regulasi terbaru, Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025, akan mendapatkan porsi pembahasan khusus. Laporan akan diakhiri dengan kesimpulan yang merangkum poin-poin kunci serta rekomendasi strategis untuk optimalisasi penerapan Repeat Order di masa mendatang.
2. Definisi, Konsep, dan Landasan Hukum Repeat Order
Definisi Operasional Repeat Order (Permintaan Berulang)
Repeat Order (RO), atau Permintaan Berulang, secara operasional didefinisikan sebagai penunjukan yang dilakukan kepada Penyedia yang sama dengan pekerjaan sebelumnya.2 Penting untuk ditekankan bahwa RO merupakan bagian integral dari metode pemilihan Penyedia melalui Penunjukan Langsung.1 Mekanisme ini dapat diterapkan untuk pengadaan Barang, Pekerjaan Konstruksi, Jasa Lainnya, maupun Jasa Konsultansi 2, dengan syarat dan ketentuan tertentu yang harus dipenuhi.
Evolusi Kerangka Regulasi: Dari Perpres No. 16 Tahun 2018 hingga Perpres No. 46 Tahun 2025
Kerangka regulasi yang mengatur Repeat Order di Indonesia telah mengalami evolusi seiring dengan dinamika kebutuhan dan upaya penyempurnaan sistem pengadaan barang/jasa pemerintah.
- Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2021 (Perpres 16/2018 jo. Perpres 12/2021): Regulasi ini menjadi payung hukum utama untuk pengadaan barang/jasa pemerintah, yang di dalamnya mengatur ketentuan mengenai Penunjukan Langsung.3 Meskipun tidak secara eksplisit merinci Repeat Order secara mendalam, Perpres ini memberikan dasar bagi pengaturan lebih lanjut di tingkat peraturan turunan.
- Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) No. 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Penyedia (PerLKPP 12/2021): Peraturan ini memberikan pedoman yang lebih teknis dan detail mengenai pelaksanaan pengadaan, termasuk yang berkaitan dengan Penunjukan Langsung yang dapat mencakup skenario Repeat Order.5 Perlu dicatat bahwa PerLKPP 12/2021 telah mengalami perubahan sebagian melalui Peraturan LKPP No. 4 Tahun 2024.7 Namun, berdasarkan informasi yang tersedia, perubahan utama dalam PerLKPP 4/2024 lebih difokuskan pada aspek Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi Rancang dan Bangun.8 Dampak langsung perubahan ini terhadap ketentuan Repeat Order secara umum perlu diverifikasi lebih lanjut, meskipun Surat Edaran Kepala LKPP Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencegahan Korupsi Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pada Tahap Pemilihan Penyedia dan Pelaksanaan Kontrak merujuk PerLKPP 12/2021 sebagaimana telah diubah dengan PerLKPP 4/2024 sebagai salah satu dasar hukumnya.9
- Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 46/2025): Regulasi terbaru ini membawa perubahan signifikan dengan secara eksplisit memasukkan Repeat Order sebagai salah satu kriteria keadaan tertentu yang memungkinkan dilakukannya Penunjukan Langsung.10 Pasal 38 Perpres 46/2025 menjadi titik krusial dalam penguatan landasan hukum RO.10 Matriks perbandingan antara Perpres 12/2021 dengan Perpres 46/2025 mengindikasikan bahwa “Kriteria keadaan tertentu untuk Penunjukan Langsung diperbarui/ditambah (misal:… repeat order…)”.11 Ini menandakan pengakuan dan legitimasi yang lebih tinggi bagi mekanisme RO di tingkat Peraturan Presiden.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa jika sebelumnya RO lebih banyak diatur secara teknis pada level Peraturan LKPP, pencantumannya secara eksplisit dalam Perpres 46/2025 sebagai salah satu kriteria keadaan tertentu untuk Penunjukan Langsung (Pasal 38) telah meningkatkan status hukumnya.10 Ini bukan lagi sekadar “penjelasan” dalam peraturan turunan, melainkan sebuah dasar yang diakui secara formal di tingkat Peraturan Presiden. Konsekuensinya, hal ini memberikan landasan yang lebih kokoh bagi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau Kelompok Kerja (Pokja) Pemilihan untuk menggunakan RO, namun diiringi dengan ekspektasi kepatuhan yang lebih tinggi terhadap syarat dan ketentuannya. Potensi audit atau pemeriksaan hukum kemungkinan akan lebih menitikberatkan pada pemenuhan kriteria RO sebagaimana diamanatkan oleh Perpres.
Peran Surat Edaran LKPP dan Kementerian/Lembaga Teknis
Selain peraturan formal di atas, Surat Edaran (SE) dari LKPP maupun kementerian/lembaga teknis memegang peranan penting dalam memberikan panduan praktis dan kontekstualisasi aturan umum RO pada jenis pengadaan spesifik.
- Surat Edaran Kepala LKPP No. 3 Tahun 2022 tentang Penjelasan Atas Pelaksanaan Penunjukan Langsung Permintaan Berulang (Repeat Order) Pengadaan Jasa Konsultansi (SE Ka LKPP 3/2022): SE ini diterbitkan untuk memberikan penjelasan khusus dan detail mengenai penggunaan Penunjukan Langsung RO untuk pengadaan Jasa Konsultansi, baik konstruksi maupun non-konstruksi.3 Keberadaan SE ini mengindikasikan adanya kebutuhan akan klarifikasi yang lebih mendalam untuk sektor jasa konsultansi yang memiliki karakteristik tersendiri.
- Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR):
- SE Menteri PUPR No. 17/SE/M/2022 tentang Pedoman Operasional Tertib Penyelenggaraan Penunjukan Langsung Permintaan Berulang (Repeat Order) Dalam Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Di Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat: SE ini memberikan pedoman operasional spesifik untuk RO dalam pengadaan pekerjaan konstruksi di lingkungan Kementerian PUPR.1
- SE Menteri PUPR No. 14/SE/M/2024 tentang Pedoman Penunjukan Langsung Permintaan Berulang (Repeat Order) Dalam Pengadaan Jasa Konsultansi di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat: SE ini menggantikan SE Menteri PUPR No. 20/SE/M/2021 dan memberikan pedoman terbaru untuk RO jasa konsultansi di Kementerian PUPR.15
Adanya berbagai SE dari LKPP dan kementerian teknis seperti PUPR menunjukkan kebutuhan akan panduan yang lebih spesifik dan kontekstual untuk jenis-jenis pengadaan tertentu. Meskipun hal ini sangat membantu kelancaran implementasi di sektor-sektor tersebut, terdapat potensi fragmentasi jika panduan-panduan ini tidak sepenuhnya selaras dengan peraturan yang lebih tinggi atau jika muncul interpretasi yang berbeda antar lembaga. Diperkenalkannya RO secara eksplisit dalam Perpres 46/2025 sebagai salah satu kriteria Penunjukan Langsung dapat dipandang sebagai langkah menuju harmonisasi yang lebih baik. Meskipun demikian, detail implementasinya akan tetap sangat bergantung pada kejelasan dan konsistensi peraturan turunan yang mengikutinya. Oleh karena itu, pelaku pengadaan perlu senantiasa cermat dalam merujuk pada hierarki peraturan perundang-undangan dan memastikan bahwa panduan sektoral yang diikuti tidak bertentangan dengan Peraturan Presiden atau Peraturan LKPP yang berlaku. Terdapat kebutuhan berkelanjutan bagi LKPP untuk memastikan konsistensi dan keselarasan dalam seluruh spektrum regulasi pengadaan.
Tabel 1: Evolusi Regulasi Utama Terkait Repeat Order
| Regulasi (Nomor & Tahun) | Poin Kunci Terkait RO | Keterangan/Perubahan Signifikan |
| Perpres No. 16 Tahun 2018 jo. Perpres No. 12 Tahun 2021 | Mengatur Penunjukan Langsung secara umum. | Dasar bagi pengaturan RO di peraturan turunan. 3 |
| PerLKPP No. 12 Tahun 2021 | Pedoman pelaksanaan pengadaan melalui penyedia, termasuk Penunjukan Langsung yang dapat mencakup RO. | Memberikan detail teknis. 5 |
| SE Ka LKPP No. 3 Tahun 2022 | Penjelasan spesifik Penunjukan Langsung RO untuk Jasa Konsultansi (kriteria, batasan, tata cara). | Mengklarifikasi implementasi RO Jasa Konsultansi. 3 |
| SE Menteri PUPR No. 17/SE/M/2022 | Pedoman operasional RO Pengadaan Pekerjaan Konstruksi di Kementerian PUPR. | Kontekstualisasi untuk pekerjaan konstruksi di PUPR. 1 |
| SE Menteri PUPR No. 14/SE/M/2024 | Pedoman Penunjukan Langsung RO Pengadaan Jasa Konsultansi di Kementerian PUPR. | Menggantikan SE PUPR sebelumnya (No. 20/SE/M/2021) untuk jasa konsultansi di PUPR. 15 |
| PerLKPP No. 4 Tahun 2024 | Perubahan atas PerLKPP No. 12 Tahun 2021. | Fokus utama pada Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi Rancang dan Bangun. Dampak langsung ke RO umum perlu dikaji lebih lanjut. 8 |
| Perpres No. 46 Tahun 2025 | Memasukkan Repeat Order secara eksplisit sebagai salah satu kriteria keadaan tertentu untuk Penunjukan Langsung (Pasal 38). | Memberikan legitimasi hukum yang lebih tinggi untuk RO di tingkat Perpres. 10 |
Tabel di atas memvisualisasikan perkembangan kerangka hukum RO secara kronologis, memudahkan pelacakan perubahan definisi, kriteria, dan penekanan pada RO dari waktu ke waktu. Hal ini menyoroti peran berbagai instrumen hukum dalam membentuk mekanisme RO dan secara khusus menunjukkan penguatan landasan hukum RO dengan dimasukkannya secara eksplisit dalam Perpres 46/2025, yang penting untuk memahami konteks hukum saat ini dan potensi pergeseran interpretasi.
3. Kriteria, Ruang Lingkup, dan Batasan Penerapan Repeat Order
Penerapan mekanisme Repeat Order (RO) dalam pengadaan barang/jasa pemerintah diikat oleh serangkaian kriteria, ruang lingkup jenis pengadaan tertentu, serta batasan-batasan yang tegas. Pemenuhan aspek-aspek ini menjadi prasyarat mutlak agar RO dapat dilaksanakan secara sah dan akuntabel.
Kriteria Umum Penggunaan Repeat Order
Secara umum, penggunaan RO harus memenuhi beberapa kriteria fundamental:
- Kesamaan atau Keserupaan Pekerjaan: Pekerjaan yang akan di-RO-kan harus merupakan pekerjaan yang sama atau setidaknya serupa dengan pekerjaan yang telah dilaksanakan sebelumnya oleh penyedia yang bersangkutan.3 Untuk jasa konsultansi, kesamaan ini dapat mencakup uraian keluaran (deliverables), metodologi yang digunakan, dan komposisi tenaga ahli yang terlibat.3
- Kinerja Penyedia yang Baik: Penyedia yang akan ditunjuk kembali harus memiliki rekam jejak kinerja minimal “baik” pada pekerjaan sebelumnya. Penilaian kinerja ini idealnya dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan tercatat secara formal dalam Sistem Informasi Kinerja Penyedia (SIKaP).3 Dalam kondisi di mana SIKaP belum sepenuhnya memfasilitasi pencatatan atau penilaian kinerja secara komprehensif, penilaian dapat dilakukan secara manual dengan memperhatikan aspek-aspek krusial seperti kualitas hasil pekerjaan, kemajuan atau prestasi pekerjaan sesuai jadwal, ketepatan waktu pelaksanaan, kualifikasi dan kuantitas tenaga ahli yang ditugaskan, serta ketaatan dalam pemenuhan administrasi pekerjaan.3 Penekanan berulang pada kinerja penyedia yang terdokumentasi, khususnya melalui SIKaP, mengindikasikan suatu upaya sistematis untuk menjadikan proses RO lebih objektif dan berbasis data. Ketergantungan pada SIKaP bertujuan untuk mengurangi potensi subjektivitas PPK dalam mendefinisikan “kinerja baik”. Namun, jika SIKaP belum optimal atau belum mampu memfasilitasi seluruh aspek penilaian yang relevan, sebagaimana diakui dengan adanya opsi penilaian manual 3, maka objektivitas ini dapat terancam. Oleh karena itu, pengembangan dan pemanfaatan SIKaP secara maksimal menjadi prasyarat penting bagi keberhasilan dan akuntabilitas mekanisme RO. Tanpa SIKaP yang handal, risiko pemilihan penyedia yang kurang berkualitas atau didasarkan pada preferensi subjektif akan tetap ada.
- Harga yang Menguntungkan: Harga yang ditawarkan untuk pekerjaan RO haruslah menguntungkan bagi negara dan tidak mengorbankan kualitas barang/jasa yang diadakan.16 Aspek ini biasanya akan diverifikasi melalui proses negosiasi harga.
Ruang Lingkup Jenis Pengadaan
Mekanisme RO dapat diterapkan pada berbagai jenis pengadaan, meskipun dengan beberapa penekanan dan pengaturan khusus untuk jenis tertentu:
- Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya: Peraturan LKPP No. 5 Tahun 2022 secara eksplisit menyebutkan kemungkinan penerapan RO untuk ketiga kategori pengadaan ini.2
- Jasa Konsultansi: Jenis pengadaan ini mendapatkan perhatian khusus dan seringkali memiliki pengaturan yang lebih detail untuk RO, baik untuk jasa konsultansi konstruksi maupun non-konstruksi.2 Meskipun pada awalnya terdapat indikasi bahwa RO lebih difokuskan pada jasa konsultansi tertentu seperti jasa audit 19, perkembangan regulasi, termasuk Peraturan LKPP No. 5 Tahun 2022 2, menunjukkan adanya perluasan cakupan.
Ketentuan Khusus untuk Jasa Konsultansi (Konstruksi dan Non-Konstruksi)
Berdasarkan Surat Edaran Kepala LKPP No. 3 Tahun 2022 3, terdapat ketentuan khusus yang mengatur RO untuk Jasa Konsultansi:
- Kriteria Pekerjaan:
- Contoh pekerjaan yang dapat menggunakan RO meliputi jasa konsultansi perancangan gedung, perencanaan struktur, serta jasa konsultansi pemetaan dan pengukuran lahan.3
- Untuk desain berulang dalam pekerjaan konstruksi, RO dapat digunakan jika standar desainnya relatif sederhana dan penyesuaian desain hanya diperlukan pada bagian umum atau fondasi/dasar bangunan.3
- Terkait komposisi tenaga ahli, untuk penyedia jasa konsultansi berbentuk badan usaha, Ketua Tim (Team Leader) harus sama atau tetap dengan pekerjaan sebelumnya. Untuk jasa konsultansi perorangan, tenaga ahlinya harus sama dengan pekerjaan sebelumnya. Jumlah satuan waktu penugasan (misalnya, man-month, man-week, man-day, atau man-hour) dapat bertambah, namun maksimal 50% lebih tinggi dari jumlah satuan waktu penugasan pada pekerjaan sebelumnya.3
- Kriteria Penyedia: Penyedia jasa konsultansi harus telah menyelesaikan pekerjaan pertama yang diperoleh melalui proses Seleksi dan memiliki kinerja minimal “baik” yang tercatat dalam SIKaP.3
- Penilaian Kinerja untuk RO Kedua: Jika RO dilakukan untuk kedua kalinya, penilaian kinerja penyedia didasarkan pada hasil pekerjaan RO yang pertama, apabila RO pertama tersebut telah selesai dilaksanakan. Namun, jika RO pertama belum selesai, maka penilaian kinerja penyedia mengacu pada hasil pemilihan penyedia melalui Seleksi pada pekerjaan awal (pekerjaan pertama).3
Ketentuan Khusus untuk Pekerjaan Konstruksi
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Surat Edaran Menteri PUPR No. 17/SE/M/2022 1 juga menetapkan pedoman operasional untuk RO dalam pengadaan pekerjaan konstruksi, yang antara lain mencakup:
- Pekerjaan yang akan di-RO-kan harus memiliki sub-klasifikasi dan ruang lingkup yang sama dengan pekerjaan konstruksi sebelumnya.
- Nilai Harga Perkiraan Sendiri (HPS) untuk pekerjaan RO tidak boleh melebihi nilai kontrak akhir dari pekerjaan sebelumnya.
- Risiko keselamatan konstruksi pada pekerjaan RO tidak boleh lebih tinggi dibandingkan pekerjaan sebelumnya.
- Penyedia jasa konstruksi harus memiliki kinerja “baik” atau “sangat baik” pada pekerjaan sebelumnya, tergantung kualifikasi usaha penyedia.
Batasan Frekuensi, Jangka Waktu, dan Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ)
Penerapan RO juga dibatasi oleh ketentuan frekuensi, jangka waktu, dan unit kerja:
- Frekuensi: RO dapat dilaksanakan paling banyak 2 (dua) kali untuk penyedia yang sama atas pekerjaan yang sama/serupa.3 Pembatasan ini bertujuan untuk menjaga prinsip persaingan usaha yang sehat dan memberikan kesempatan yang lebih luas kepada pelaku usaha lain untuk berpartisipasi dalam pengadaan pemerintah.19 Ini merupakan sebuah trade-off yang sadar dilakukan oleh regulator; mengakui bahwa RO, meskipun efisien, secara inheren mengurangi kompetisi langsung. Batasan ini berfungsi sebagai “rem pengaman” untuk mencegah ketergantungan berlebihan pada satu penyedia. Pelaku pengadaan tidak boleh memandang RO sebagai cara untuk terus-menerus menggunakan penyedia yang sama tanpa batas. Setelah batasan ini tercapai, proses kompetitif (tender/seleksi) harus kembali dilakukan, yang juga berfungsi untuk menguji ulang harga pasar dan kualitas penyedia.
- Jangka Waktu: RO dapat dilakukan dalam tahun anggaran yang sama dengan pekerjaan sebelumnya, dan/atau pada tahun anggaran berikutnya, dengan batasan paling lama 3 (tiga) tahun anggaran sejak pekerjaan sebelumnya selesai dilaksanakan.3
- Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ): Pelaksanaan RO harus dilakukan pada UKPBJ yang sama dengan pelaksanaan pekerjaan sebelumnya.3 Apabila UKPBJ tersebut memiliki Satuan Pelaksana yang berfungsi melaksanakan pengadaan barang/jasa dalam wilayah kerja tertentu, maka ketentuan batasan paling banyak 2 (dua) kali tersebut diberlakukan pada tingkat UKPBJ secara keseluruhan.3
Satu hal yang menarik untuk dicermati adalah tidak adanya batasan nilai pagu anggaran spesifik untuk pelaksanaan RO itu sendiri, berbeda dengan metode Pengadaan Langsung yang umumnya memiliki batasan nilai tertentu.20 Sebagaimana dijelaskan dalam Frequently Asked Questions (FAQ) LKPP, RO tidak perlu dibatasi nilainya karena dasar pelaksanaannya adalah penilaian atas kinerja penyedia dan adanya kebutuhan akan jasa tersebut, bukan semata-mata nilai paket pengadaannya.19 Nilai kontrak untuk RO ditetapkan melalui proses negosiasi. Implikasinya, fokus utama RO adalah pada kualitas dan kontinuitas layanan dari penyedia yang telah terbukti memiliki kinerja baik. Namun, hal ini juga berarti bahwa proses negosiasi harga menjadi sangat krusial dalam pelaksanaan RO untuk memastikan tercapainya value for money, terutama karena tidak adanya tekanan kompetisi harga secara langsung seperti dalam mekanisme tender. Keahlian dan integritas PPK/Pokja Pemilihan dalam melakukan negosiasi menjadi faktor penentu yang sangat penting.
Tabel 2: Perbandingan Kriteria Repeat Order untuk Jenis Pengadaan Berbeda
| Jenis Pengadaan | Kriteria Utama Pekerjaan | Kriteria Penyedia Spesifik | Batasan Spesifik (Selain Umum) |
| Barang | Sama/serupa dengan pekerjaan sebelumnya. | Kinerja minimal baik pada pekerjaan sebelumnya (tercatat di SIKaP jika memungkinkan). | Mengacu pada batasan umum frekuensi (maks. 2x) dan waktu (maks. 3 tahun sejak pekerjaan sebelumnya). 2 |
| Pekerjaan Konstruksi | Sama/serupa, sub-klasifikasi & ruang lingkup sama (KemenPUPR). Risiko keselamatan konstruksi tidak lebih tinggi (KemenPUPR). | Kinerja minimal baik/sangat baik (KemenPUPR). Telah menyelesaikan pekerjaan sebelumnya. | HPS tidak melebihi kontrak akhir sebelumnya (KemenPUPR). 1 |
| Jasa Lainnya | Sama/serupa dengan pekerjaan sebelumnya. | Kinerja minimal baik pada pekerjaan sebelumnya (tercatat di SIKaP jika memungkinkan). | Mengacu pada batasan umum. 2 |
| Jasa Konsultansi Non-Konstruksi | Berkaitan dan/atau ruang lingkup sama (uraian, keluaran, metodologi, komposisi ahli). | Kinerja minimal baik (SIKaP). Telah menyelesaikan pekerjaan pertama dari Seleksi. Ketua Tim/Tenaga Ahli sama. | Jumlah man-month dapat bertambah maks. 50% dari pekerjaan sebelumnya. 3 |
| Jasa Konsultansi Konstruksi | Berkaitan dan/atau ruang lingkup sama. Desain berulang untuk konstruksi standar sederhana (penyesuaian umum/fondasi). | Kinerja minimal baik (SIKaP). Telah menyelesaikan pekerjaan pertama dari Seleksi. Ketua Tim/Tenaga Ahli sama. | Jumlah man-month dapat bertambah maks. 50%. Penilaian kinerja RO kedua berdasarkan hasil RO pertama (jika selesai) atau hasil seleksi awal (jika RO pertama belum selesai). 3 |
Tabel di atas mengkonsolidasikan syarat-syarat RO yang tersebar untuk berbagai jenis pengadaan, memudahkan praktisi untuk mengidentifikasi apakah suatu situasi pengadaan memenuhi syarat RO. Terlihat adanya ketentuan yang lebih detail dan ketat untuk Jasa Konsultansi, khususnya Konstruksi, yang menandakan kompleksitas dan risiko yang lebih tinggi pada sektor tersebut, sehingga memerlukan pengaturan yang lebih spesifik.
4. Mekanisme dan Prosedur Pelaksanaan Repeat Order
Pelaksanaan Repeat Order (RO) mengikuti alur prosedur yang spesifik, meskipun pada dasarnya merupakan salah satu bentuk dari metode Penunjukan Langsung. Proses ini melibatkan peran aktif dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Kelompok Kerja (Pokja) Pemilihan, atau Pejabat Pengadaan, serta pemanfaatan Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE).
Repeat Order sebagai Bentuk Penunjukan Langsung
Secara fundamental, RO dilaksanakan melalui metode Penunjukan Langsung kepada penyedia barang/jasa yang sama dengan pekerjaan sebelumnya.1 Penunjukan Langsung dalam konteks RO ini dapat dilakukan oleh Pejabat Pengadaan atau oleh Pokja Pemilihan, tergantung pada nilai paket pengadaan yang akan dilaksanakan.6
Tahapan Proses
Tahapan proses pelaksanaan RO, khususnya untuk Jasa Konsultansi sebagaimana diatur dalam SE Kepala LKPP No. 3 Tahun 2022 3 dan pedoman Kementerian PUPR untuk Jasa Konsultansi melalui SE Menteri PUPR No. 14/SE/M/2024 15, secara umum meliputi:
- Persiapan Pengadaan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK):
- PPK mengidentifikasi kebutuhan dan menyatakan bahwa paket pengadaan akan dilaksanakan melalui metode Penunjukan Langsung RO.3
- PPK bertanggung jawab menyiapkan seluruh dokumen persiapan pengadaan. Untuk pengadaan Jasa Konsultansi di lingkungan Kementerian PUPR, dokumen ini mencakup surat pernyataan RO Jasa Konsultansi (ROJK), Surat Keputusan (SK) pengangkatan PPK, dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) yang telah disetujui, ID paket dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP), Kerangka Acuan Kerja (KAK) atau Terms of Reference (ToR), Harga Perkiraan Sendiri (HPS), rancangan kontrak, serta bukti penilaian kinerja penyedia pada pekerjaan sebelumnya yang menunjukkan kinerja baik atau sangat baik dan tercatat di SIKaP.15
- Dokumen persiapan pengadaan yang telah lengkap kemudian disampaikan oleh PPK kepada Kepala Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ) atau kepada Pejabat Pengadaan.5
- Persiapan Pemilihan oleh Kelompok Kerja (Pokja) Pemilihan/Pejabat Pengadaan:
- Setelah menerima permintaan pemilihan beserta lampiran dokumen persiapan pengadaan dari PPK, Kepala UKPBJ/Pejabat Pengadaan akan menunjuk Pokja Pemilihan (jika diperlukan berdasarkan nilai paket) atau menugaskan Pejabat Pengadaan untuk melaksanakan proses pemilihan.5
- Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan melakukan reviu terhadap kelengkapan dan kesesuaian dokumen persiapan pengadaan yang diterima dari PPK.5
- Selanjutnya, Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan menetapkan metode pemilihan (yang dalam hal ini sudah ditentukan sebagai Penunjukan Langsung RO), menetapkan persyaratan penyedia (yang merujuk pada penyedia yang sama dari pekerjaan sebelumnya), menyusun dan menetapkan jadwal pelaksanaan pemilihan, serta menyusun Dokumen Pemilihan.5
- Pelaksanaan Pemilihan oleh Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan:
- Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan menyampaikan undangan untuk memasukkan penawaran harga kepada calon Penyedia yang telah ditentukan (yaitu penyedia yang sama dengan pekerjaan sebelumnya).3
- Calon Penyedia kemudian menyampaikan dokumen penawaran. Untuk pengadaan Jasa Konsultansi di Kementerian PUPR, dokumen penawaran ini biasanya terdiri dari satu file yang mencakup dokumen administrasi, dokumen teknis, dan dokumen biaya.3
- Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan melakukan pembukaan dokumen penawaran yang masuk.3
- Tahap selanjutnya adalah evaluasi dokumen penawaran, yang meliputi evaluasi administrasi, evaluasi teknis, koreksi aritmatik terhadap rincian biaya, dan evaluasi kewajaran biaya.3 Jika hasil evaluasi menunjukkan bahwa penawaran tidak memenuhi persyaratan, Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan akan melaporkan hal tersebut kepada PPK.15
- Apabila penawaran dinyatakan memenuhi syarat, Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan akan melakukan klarifikasi dan negosiasi baik aspek teknis maupun harga dengan calon Penyedia.3
- Setelah proses klarifikasi dan negosiasi mencapai kesepakatan, Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan menetapkan pemenang dan mengumumkannya.3
- Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan kemudian menyusun Berita Acara Hasil Penunjukan Langsung RO.15
- Berita Acara Hasil Penunjukan Langsung RO tersebut selanjutnya disampaikan kepada PPK sebagai dasar untuk penerbitan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ) dan proses kontrak.15
Meskipun RO menunjuk penyedia yang sama, tahapan proses yang dilalui – mulai dari undangan, penyampaian penawaran, evaluasi, hingga negosiasi 3 – menunjukkan bahwa ini bukanlah sebuah proses yang berjalan secara otomatis. Tetap terdapat mekanisme check and balance yang bertujuan untuk memastikan kewajaran harga dan kesesuaian aspek teknis untuk pekerjaan baru yang akan dilaksanakan, sekalipun pekerjaan tersebut serupa dengan sebelumnya. Hal ini penting untuk mencegah penyedia menjadi terlena (complacent) atau mencoba menaikkan harga secara tidak wajar. Dengan demikian, PPK dan Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan tidak boleh menganggap proses RO sebagai sekadar formalitas. Proses evaluasi dan, yang terpenting, negosiasi harus tetap dilakukan dengan cermat, profesional, dan penuh tanggung jawab untuk memastikan tercapainya value for money dan terjaganya akuntabilitas penggunaan anggaran negara.
Peran Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE)
Pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia, termasuk RO, diwajibkan untuk dilakukan melalui aplikasi Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dan sistem pendukung lainnya.2
Dalam praktiknya, jika pada aplikasi SPSE belum tersedia fitur non-tender yang secara spesifik dirancang untuk RO, maka pelaksanaannya dapat memanfaatkan fitur non-tender Penunjukan Langsung yang sudah ada. Sebagai contoh, untuk aplikasi SPSE versi 4.4 dan 4.5, dapat digunakan fitur non-tender Penunjukan Langsung sebagai tindak lanjut dari proses prakualifikasi ulang di mana jumlah peserta yang lulus hanya 1 (satu) penyedia. Sedangkan untuk aplikasi SPSE versi 4.3, dapat digunakan fitur non-tender Penunjukan Langsung yang tersedia.3 Pengumuman hasil pemilihan atau penetapan pemenang juga dilakukan melalui platform SPSE.15
Keterangan bahwa pelaksanaan RO dapat menggunakan fitur Penunjukan Langsung lain di SPSE jika fitur spesifik RO belum tersedia 3 mengindikasikan kemungkinan adanya jeda waktu antara penetapan suatu kebijakan pengadaan dengan kesiapan infrastruktur teknologi pendukungnya. Kondisi ini berpotensi menimbulkan kebingungan administratif atau mengakibatkan pencatatan proses pengadaan yang kurang ideal dan seragam. Oleh karena itu, pengembangan aplikasi SPSE yang senantiasa adaptif terhadap perubahan regulasi pengadaan, termasuk penyediaan fitur khusus yang dirancang untuk memfasilitasi proses RO, menjadi sangat penting. Ketersediaan fitur yang sesuai akan mendukung kelancaran pelaksanaan, meningkatkan transparansi, serta memudahkan proses audit dan pertanggungjawaban pelaksanaan RO. Keterlambatan dalam adaptasi SPSE dapat menjadi salah satu hambatan dalam implementasi kebijakan pengadaan yang efisien dan modern.
5. Analisis Komparatif, Keunggulan, Risiko, dan Tantangan
Memahami posisi Repeat Order (RO) dalam spektrum metode pengadaan barang/jasa pemerintah memerlukan perbandingan dengan metode lain, serta analisis mendalam terhadap keunggulan, potensi risiko, dan tantangan implementasinya di Indonesia.
Perbandingan Repeat Order dengan Metode Pengadaan Lainnya
- Pengadaan Langsung: Metode ini umumnya digunakan untuk pengadaan barang/jasa dengan nilai pagu anggaran yang relatif kecil dan risiko rendah.20 Berbeda dengan RO yang tidak memiliki batasan nilai pagu spesifik 19, Pengadaan Langsung memiliki batasan nilai yang jelas, misalnya untuk jasa konsultansi maksimal Rp 100 juta 19, dan untuk pekerjaan konstruksi hingga Rp 200 juta yang kemudian dinaikkan menjadi Rp 400 juta dalam Perpres 46 Tahun 2025.10 RO lebih ditujukan untuk keberlanjutan pekerjaan dengan penyedia yang telah terbukti kinerjanya, sementara Pengadaan Langsung lebih untuk kebutuhan yang sederhana dan mendesak.
- Penunjukan Langsung (Umum/Non-RO): RO adalah salah satu bentuk spesifik dari Penunjukan Langsung, yang kriterianya adalah adanya pekerjaan berulang dari penyedia yang sama dengan kinerja baik. Penunjukan Langsung secara umum dapat dilakukan untuk kondisi-kondisi lain yang ditetapkan dalam peraturan, seperti penanganan keadaan darurat, pengadaan barang/jasa yang hanya dapat disediakan oleh satu penyedia (penyedia tunggal), atau kondisi lain sesuai ketentuan.20 Perpres 46 Tahun 2025 semakin memperjelas posisi RO sebagai salah satu kriteria sah untuk melakukan Penunjukan Langsung.10
- E-Purchasing: Metode ini dilaksanakan melalui katalog elektronik (e-katalog) untuk barang/jasa yang bersifat standar, umum, dan telah tercantum dalam sistem katalog tersebut.2 RO, di sisi lain, dapat digunakan untuk pekerjaan yang mungkin memiliki tingkat kompleksitas atau spesifikasi yang lebih unik dan belum tentu tersedia dalam e-katalog. E-purchasing lebih menekankan pada transparansi harga untuk komoditas standar dan efisiensi proses transaksi.
Tabel 3: Perbandingan Metode Repeat Order dengan Metode Pengadaan Lainnya
| Fitur | Repeat Order (RO) | Pengadaan Langsung | Penunjukan Langsung (Non-RO) | E-Purchasing |
| Dasar Penggunaan | Pekerjaan berulang dari penyedia sama dengan kinerja baik. 2 | Kebutuhan bernilai kecil, risiko rendah, sederhana, mendesak. 20 | Keadaan tertentu (darurat, penyedia tunggal, pekerjaan kompleks tertentu, dll). 20 | Barang/jasa standar yang tersedia di e-katalog. 2 |
| Batasan Nilai | Tidak ada batasan nilai pagu spesifik, nilai kontrak berdasarkan negosiasi. 19 | Ada batasan nilai pagu (misal, Jasa Konsultansi maks. Rp 100 juta, Konstruksi maks. Rp 400 juta – Perpres 46/2025). 10 | Umumnya tidak ada batasan nilai, tergantung justifikasi keadaan tertentu. | Sesuai harga dan ketentuan dalam e-katalog. |
| Kriteria Utama | Kinerja penyedia sebelumnya baik, pekerjaan sama/serupa. 3 | Nilai paket kecil, kebutuhan operasional. | Pemenuhan kriteria keadaan tertentu sesuai Perpres. | Barang/jasa tercantum dan memenuhi spesifikasi di e-katalog. |
| Proses Pemilihan | Penunjukan langsung ke penyedia lama, melalui tahapan evaluasi penawaran dan negosiasi. 3 | Pembelian/pemesanan langsung ke penyedia, bisa dengan negosiasi sederhana. | Penunjukan langsung ke penyedia tertentu setelah justifikasi, bisa dengan negosiasi. | Pemilihan barang/jasa dan transaksi langsung melalui platform e-katalog. |
| Tingkat Kompetisi | Rendah (hanya dengan penyedia yang sama). | Rendah/Tidak ada (jika langsung ke satu penyedia). | Rendah/Tidak ada. | Kompetisi terjadi pada saat penyedia mendaftarkan produknya di e-katalog (kompetisi harga dan kualitas antar produk). |
Tabel di atas secara jelas membedakan RO dari metode pengadaan lain yang seringkali dapat menimbulkan kebingungan karena adanya beberapa irisan, misalnya RO yang merupakan bagian dari Penunjukan Langsung. Ini membantu pengguna memahami kapan RO paling tepat digunakan dibandingkan alternatif lain, dengan menyoroti perbedaan kunci seperti batasan nilai, dasar justifikasi, dan tingkat kompetisi yang terlibat, sehingga memberikan perspektif strategis dalam pemilihan metode pengadaan.
Keunggulan Implementasi Repeat Order
Penerapan RO yang tepat dapat memberikan sejumlah keunggulan signifikan:
- Efisiensi Waktu dan Biaya Proses Pengadaan: Dengan tidak melalui proses tender atau seleksi ulang yang memakan waktu dan sumber daya, RO dapat secara signifikan mempercepat proses pemilihan penyedia.1 Hal ini serupa dengan efisiensi yang ditawarkan oleh Pengadaan Langsung untuk paket bernilai kecil.20
- Kontinuitas Kualitas dan Kesinambungan Pekerjaan: Apabila penyedia pada pekerjaan sebelumnya telah menunjukkan kinerja yang baik dan menghasilkan kualitas yang memuaskan, penggunaan RO dapat membantu menjaga standar kualitas tersebut dan memastikan kesinambungan pekerjaan tanpa perlu melalui kurva pembelajaran dengan penyedia baru.
- Pembinaan dan Insentif Kinerja bagi Penyedia: Mekanisme RO dapat berfungsi sebagai insentif bagi penyedia untuk senantiasa berkinerja baik, karena kinerja positif tersebut membuka peluang untuk mendapatkan pekerjaan lanjutan tanpa melalui persaingan tender yang ketat.1
- Mengurangi Risiko Kegagalan dari Penyedia Baru: Dengan menunjuk kembali penyedia yang telah memiliki rekam jejak kinerja yang terbukti, risiko kegagalan atau ketidaksesuaian hasil pekerjaan yang mungkin timbul dari penyedia baru yang belum teruji dapat diminimalisir.
- Pencapaian Tujuan Pengadaan: RO yang dilaksanakan dengan baik dapat mendukung pencapaian tujuan umum pengadaan, yaitu menghasilkan barang/jasa yang tepat dari aspek kualitas, kuantitas, waktu, biaya, dan lokasi penyedia.16
Potensi Risiko dan Strategi Mitigasinya
Meskipun menawarkan berbagai keunggulan, implementasi RO juga tidak lepas dari potensi risiko:
- Minimnya Persaingan dan Potensi Harga Tidak Kompetitif: Karena sifatnya yang merupakan penunjukan langsung, tidak ada persaingan harga secara terbuka. Hal ini berpotensi menyebabkan harga yang diperoleh tidak sekompetitif jika melalui tender.
- Strategi Mitigasi: Pelaksanaan proses negosiasi harga yang cermat dan berbasis data oleh PPK/Pokja Pemilihan.3 Untuk pekerjaan konstruksi di lingkungan Kementerian PUPR, terdapat ketentuan bahwa HPS untuk RO tidak boleh lebih tinggi dari nilai kontrak akhir pekerjaan sebelumnya.1 Selain itu, batasan frekuensi penggunaan RO juga bertujuan untuk mendorong kembalinya mekanisme pasar kompetitif setelah batas tersebut tercapai.19
- Potensi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN): Risiko ini inheren dalam setiap proses penunjukan langsung, di mana objektivitas dapat terganggu oleh kepentingan tertentu.
- Strategi Mitigasi: Penerapan kriteria RO yang jelas dan transparan, pelaksanaan proses melalui SPSE, penggunaan penilaian kinerja yang objektif melalui SIKaP, pengawasan internal dan eksternal yang efektif, serta penegasan larangan praktik KKN dalam seluruh proses pengadaan.1
- Ketergantungan pada Penyedia Tertentu dan Potensi Monopoli Terselubung: Jika RO terlalu sering atau secara terus-menerus diberikan kepada penyedia yang sama, hal ini dapat menciptakan ketergantungan dan mengurangi kesempatan bagi penyedia lain.
- Strategi Mitigasi: Pemberlakuan batasan frekuensi RO, yaitu maksimal 2 (dua) kali.19
- Penurunan Kualitas atau Kenaikan Harga oleh Penyedia setelah Mendapat RO: Ada risiko penyedia merasa sudah “aman” sehingga kinerjanya menurun atau mencoba menaikkan harga secara tidak wajar pada pekerjaan RO.
- Strategi Mitigasi: Pelaksanaan evaluasi kinerja secara berkelanjutan, penyusunan klausul kontrak yang kuat dan melindungi kepentingan pemerintah, serta pelaksanaan negosiasi yang cermat pada setiap pelaksanaan RO. Penting juga untuk diingat bahwa penilaian kinerja untuk RO kedua didasarkan pada hasil pelaksanaan RO pertama.3
- Risiko Barang/Jasa Tidak Sesuai dengan Kebutuhan yang Berkembang: Jika spesifikasi teknis atau KAK tidak ditinjau ulang dan disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, RO dapat menghasilkan barang/jasa yang tidak lagi optimal.
- Strategi Mitigasi: Kewajiban untuk melakukan reviu terhadap KAK atau spesifikasi teknis pada setiap akan dilaksanakannya RO, untuk memastikan kesesuaian dengan kebutuhan aktual.
Keunggulan RO seperti efisiensi dan kontinuitas kualitas memang sangat menarik, namun risiko yang menyertainya, terutama terkait minimnya kompetisi dan potensi KKN, juga signifikan. Keberhasilan implementasi RO sangat bergantung pada integritas dan kompetensi para pelaku pengadaan, serta efektivitas sistem pendukung seperti SIKaP dan SPSE. Tanpa prasyarat tersebut, RO berpotensi lebih banyak mendatangkan kerugian daripada manfaat. Dengan kata lain, implementasi RO memerlukan komitmen yang kuat pada prinsip-prinsip tata kelola pengadaan yang baik. Ini bukan sekadar pilihan metode, melainkan cerminan dari kualitas sistem pengadaan secara keseluruhan.
Tantangan Umum dalam Implementasi di Indonesia
Implementasi RO di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan umum yang perlu diatasi:
- Kapasitas dan Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) Pengadaan: Masih terdapat tantangan terkait kemampuan SDM pengadaan dalam melakukan penilaian kinerja penyedia secara objektif dan komprehensif, melaksanakan negosiasi teknis dan harga secara efektif, serta memiliki pemahaman yang mendalam mengenai regulasi RO yang terkadang dianggap kompleks.22
- Konsistensi dan Pemahaman Regulasi: Regulasi pengadaan, termasuk yang terkait RO, seringkali dianggap rumit dan dapat mengalami perubahan, yang menuntut adaptasi berkelanjutan dari para pelaksana.22
- Kualitas dan Keterisian Data SIKaP: Efektivitas RO sangat bergantung pada kualitas data kinerja penyedia dalam SIKaP. Jika SIKaP tidak diisi secara rutin, tidak lengkap, atau tidak objektif, maka dasar untuk melakukan penilaian kinerja penyedia menjadi lemah. Hal ini tersirat dari adanya ketentuan yang masih memungkinkan penilaian manual jika SIKaP belum memfasilitasi.3
- Pengawasan Implementasi RO: Diperlukan sistem pengawasan yang efektif untuk memastikan bahwa RO tidak disalahgunakan untuk kepentingan tertentu dan tetap dilaksanakan sesuai dengan koridor peraturan yang berlaku.
- Birokrasi Internal: Meskipun RO bertujuan untuk mempercepat proses, terkadang birokrasi internal di masing-masing instansi dalam proses persetujuan dan administrasi masih dapat menjadi kendala yang memperpanjang waktu pelaksanaan.22
Tantangan-tantangan seperti keterbatasan kapasitas SDM, kompleksitas pemahaman regulasi, dan kendala birokrasi 22 sejatinya bukanlah masalah yang eksklusif hanya untuk mekanisme RO. Isu-isu tersebut merupakan cerminan dari permasalahan sistemik yang lebih luas dalam lanskap pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia. RO hanyalah menjadi salah satu area di mana masalah-masalah fundamental ini termanifestasi. Oleh karena itu, upaya untuk memperbaiki implementasi RO harus berjalan seiring dengan upaya perbaikan sistem pengadaan secara lebih menyeluruh, yang mencakup peningkatan kapasitas SDM secara berkelanjutan, penyederhanaan regulasi (sejauh memungkinkan tanpa mengorbankan prinsip akuntabilitas), dan penguatan sistem informasi pendukung.
6. Implikasi Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 terhadap Mekanisme Repeat Order
Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 46/2025) membawa implikasi signifikan terhadap mekanisme Repeat Order (RO) di Indonesia. Perubahan ini, khususnya pada Pasal 38, menandai penguatan landasan hukum dan pengakuan formal terhadap RO sebagai salah satu kriteria sah untuk melakukan Penunjukan Langsung.
Analisis Pasal 38 Perpres No. 46 Tahun 2025: Penguatan Repeat Order sebagai Kriteria Penunjukan Langsung
Salah satu perubahan paling menonjol dalam Perpres 46/2025 terkait RO adalah pembaruan dan penambahan kriteria keadaan tertentu yang memungkinkan dilakukannya Penunjukan Langsung, sebagaimana diatur dalam Pasal 38. Berdasarkan matriks perbandingan antara Perpres 12/2021 dengan Perpres 46/2025, secara eksplisit disebutkan bahwa kriteria keadaan tertentu untuk Penunjukan Langsung kini mencakup “repeat order“.10
Sebelumnya, landasan hukum untuk RO mungkin lebih banyak bersandar pada peraturan turunan seperti Peraturan LKPP dan Surat Edaran terkait. Dengan dimasukkannya RO secara tegas ke dalam batang tubuh Peraturan Presiden sebagai salah satu justifikasi untuk Penunjukan Langsung, mekanisme ini kini memiliki legitimasi hukum yang lebih tinggi dan lebih langsung. Lintas Diklat juga mengonfirmasi bahwa dalam Perpres 46/2025, kriteria Penunjukan Langsung yang sebelumnya terbatas kini diperluas untuk mencakup, antara lain, program prioritas dan repeat order, meskipun dengan catatan perlunya pengawasan agar tidak disalahgunakan.10
Pencantuman RO secara eksplisit dalam Perpres 46/2025 dapat dipandang bukan sebagai pengenalan konsep yang sepenuhnya baru, melainkan sebagai upaya untuk memberikan payung hukum yang lebih tinggi bagi praktik yang sebenarnya sudah berjalan dan diatur dalam peraturan di bawahnya, serta dianggap memberikan manfaat. Langkah ini sekaligus bertujuan untuk menyeragamkan pemahaman di kalangan pelaku pengadaan bahwa RO merupakan salah satu kondisi yang sah untuk menerapkan metode Penunjukan Langsung. Hal ini diharapkan dapat mengurangi keraguan hukum bagi para pengambil keputusan di Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (K/L/PD) dalam menerapkan RO, selama seluruh syarat dan ketentuan yang berlaku tetap dipenuhi.
Potensi Dampak Perubahan terhadap Praktik dan Kebijakan Pengadaan
Penguatan landasan hukum RO melalui Perpres 46/2025 berpotensi menimbulkan beberapa dampak terhadap praktik dan kebijakan pengadaan di Indonesia:
- Peningkatan Potensi Penggunaan RO: Dengan dasar hukum yang lebih kokoh di tingkat Peraturan Presiden, instansi pemerintah mungkin akan merasa lebih percaya diri dan lebih sering mempertimbangkan penggunaan RO untuk pengadaan barang/jasa yang memenuhi kriteria. Namun, peningkatan ini harus diimbangi dengan pemahaman yang komprehensif bahwa syarat dan batasan RO lainnya, seperti penilaian kinerja penyedia yang objektif, batasan frekuensi (maksimal 2 kali), dan batasan jangka waktu (maksimal 3 tahun), tetap berlaku dan harus dipatuhi secara ketat.
- Kebutuhan Penyesuaian Regulasi Turunan: Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) kemungkinan perlu meninjau kembali Surat Edaran atau Peraturan LKPP yang sudah ada terkait RO untuk memastikan keselarasan penuh dengan amanat Perpres 46/2025. Tidak tertutup kemungkinan LKPP akan mengeluarkan pedoman baru yang lebih komprehensif dan terintegrasi mengenai pelaksanaan RO pasca-Perpres 46/2025.
- Peningkatan Fokus pada Pengawasan: Sebagaimana telah disinggung sebelumnya dan dicatat oleh berbagai pihak 10, perluasan kriteria Penunjukan Langsung, termasuk dengan memasukkan RO secara eksplisit, menuntut adanya mekanisme pengawasan yang lebih ketat. Pengawasan ini penting untuk mencegah potensi penyalahgunaan metode RO yang dapat mengarah pada praktik persaingan tidak sehat atau KKN.
- Klarifikasi Lebih Lanjut Mengenai Detail Implementasi: Meskipun Perpres 46/2025 telah memasukkan RO sebagai kriteria Penunjukan Langsung, masih perlu dicermati lebih lanjut apakah Perpres tersebut juga memberikan definisi operasional atau batasan-batasan baru yang spesifik untuk RO, ataukah detail teknis implementasinya tetap diserahkan sepenuhnya kepada pengaturan lebih lanjut oleh LKPP. Berdasarkan informasi yang tersedia hingga saat ini 10, detail spesifik mengenai definisi atau batasan baru RO dalam Perpres 46/2025 belum sepenuhnya terurai dan kemungkinan besar akan dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya.
Dengan adanya legitimasi yang lebih kuat dari Perpres, diskursus mengenai RO di kalangan praktisi dan pengambil kebijakan mungkin akan mengalami pergeseran. Jika sebelumnya pertanyaan seringkali berkutat pada aspek legalitas atau “apakah suatu kondisi pengadaan memenuhi syarat untuk dilakukan Penunjukan Langsung yang kemudian dapat di-RO-kan?”, kini fokusnya dapat lebih bergeser ke arah “bagaimana memastikan pelaksanaan RO (yang kini jelas-jelas diakui oleh Perpres) dilakukan secara benar, akuntabel, dan tetap menjaga prinsip value for money?”. Pergeseran fokus ini menuntut adanya peningkatan kompetensi dan integritas dari para pelaksana pengadaan, karena dasar hukum untuk “boleh” melakukan RO sudah lebih jelas, sehingga tekanan akan lebih besar pada kualitas pelaksanaan proses RO itu sendiri, mulai dari evaluasi kinerja penyedia, proses negosiasi, hingga dokumentasi yang akuntabel.
7. Kesimpulan dan Rekomendasi
Mekanisme Repeat Order (RO) dalam sistem pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia merupakan sebuah instrumen strategis yang dirancang untuk meningkatkan efisiensi proses pengadaan sekaligus mendorong kinerja penyedia. Sebagai salah satu bentuk Penunjukan Langsung, RO memungkinkan pemerintah untuk kembali menunjuk penyedia yang sama atas pekerjaan serupa yang telah berhasil dilaksanakan sebelumnya, dengan didasarkan pada kinerja yang baik dan pemenuhan kriteria spesifik lainnya.
Sintesis Poin-Poin Kunci Mekanisme Repeat Order di Indonesia
Dari analisis yang telah dilakukan, beberapa poin kunci mengenai mekanisme RO dapat disintesis sebagai berikut:
- Definisi dan Dasar Hukum: RO adalah penunjukan kepada penyedia yang sama untuk pekerjaan yang sama/serupa, dilaksanakan melalui metode Penunjukan Langsung. Landasan hukumnya telah berevolusi, mulai dari Perpres 16/2018 jo. Perpres 12/2021, diperjelas melalui berbagai Peraturan dan Surat Edaran LKPP serta kementerian teknis, dan kini diperkuat secara signifikan dengan dimasukkannya RO sebagai salah satu kriteria Penunjukan Langsung dalam Pasal 38 Perpres No. 46 Tahun 2025.
- Kriteria dan Batasan: Penggunaan RO terikat pada kriteria ketat, meliputi kesamaan pekerjaan, kinerja penyedia sebelumnya yang minimal baik (idealmente tercatat di SIKaP), dan harga yang menguntungkan. Terdapat batasan frekuensi (maksimal 2 kali) dan jangka waktu (maksimal 3 tahun sejak pekerjaan sebelumnya) serta pelaksanaan pada UKPBJ yang sama. Ketentuan spesifik berlaku untuk jenis pengadaan tertentu, terutama Jasa Konsultansi dan Pekerjaan Konstruksi.
- Prosedur Pelaksanaan: Meskipun menunjuk penyedia yang sama, proses RO tetap melalui tahapan formal yang meliputi persiapan oleh PPK, persiapan pemilihan dan pelaksanaan pemilihan oleh Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan (termasuk undangan, penerimaan penawaran, evaluasi, klarifikasi, dan negosiasi), hingga penetapan pemenang, yang seluruhnya idealnya difasilitasi melalui SPSE.
- Keunggulan dan Risiko: RO menawarkan keunggulan berupa efisiensi waktu dan biaya, kontinuitas kualitas, insentif kinerja bagi penyedia, dan pengurangan risiko dari penyedia baru. Namun, RO juga mengandung risiko minimnya persaingan, potensi harga tidak kompetitif, potensi KKN, ketergantungan pada penyedia tertentu, dan kemungkinan penurunan kualitas jika tidak dikelola dengan baik.
- Pengaruh Perpres 46/2025: Peraturan Presiden terbaru ini memberikan legitimasi hukum yang lebih tinggi bagi RO, yang berpotensi meningkatkan penggunaannya namun sekaligus menuntut pengawasan yang lebih ketat dan pemahaman yang lebih mendalam dari para pelaku pengadaan.
Keberhasilan implementasi RO tidak dapat dilepaskan dari kualitas elemen-elemen lain dalam ekosistem pengadaan barang/jasa secara keseluruhan. Perencanaan pengadaan yang matang, integritas para pelaku pengadaan, sistem pembayaran yang lancar, mekanisme penanganan sengketa yang adil, serta kualitas data kinerja penyedia menjadi faktor-faktor pendukung yang krusial. Jika elemen-elemen lain dalam sistem ini masih bermasalah, maka efektivitas dan akuntabilitas RO pun akan sulit tercapai secara optimal.
Rekomendasi Strategis untuk Optimalisasi Penerapan Repeat Order
Untuk mengoptimalkan penerapan RO agar berjalan secara transparan, akuntabel, dan tetap mendorong persaingan usaha yang sehat, beberapa rekomendasi strategis perlu dipertimbangkan:
- Penguatan Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) Pengadaan: Diperlukan program pelatihan dan pengembangan kompetensi yang berkelanjutan bagi PPK, Pokja Pemilihan, dan Pejabat Pengadaan. Fokus pelatihan harus mencakup pemahaman mendalam mengenai regulasi RO terbaru (termasuk implikasi Perpres 46/2025), teknik negosiasi yang efektif, metodologi penilaian kinerja penyedia yang objektif, serta aspek integritas dan etika pengadaan.
- Optimalisasi dan Pemanfaatan Sistem Informasi Kinerja Penyedia (SIKaP): Pemerintah, melalui LKPP, perlu terus mendorong dan memastikan bahwa SIKaP menjadi basis data kinerja penyedia yang komprehensif, objektif, akurat, dan up-to-date. Seluruh instansi pemerintah harus didorong untuk secara aktif mengisi, memvalidasi, dan memanfaatkan data dalam SIKaP sebagai dasar utama penilaian kinerja penyedia untuk keperluan RO.
- Penyempurnaan, Harmonisasi, dan Sosialisasi Regulasi Turunan: LKPP memiliki peran sentral untuk memastikan bahwa semua peraturan turunan terkait RO (baik Peraturan LKPP maupun Surat Edaran) selaras sepenuhnya dengan Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2025 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Regulasi turunan ini harus dirumuskan secara jelas, tidak multitafsir, dan mudah dipahami oleh para pelaksana di lapangan. Sosialisasi yang masif dan berkelanjutan mengenai ketentuan RO terbaru kepada seluruh pemangku kepentingan menjadi kunci keberhasilan implementasi.
- Pengembangan Fitur SPSE yang Mendukung RO secara Spesifik: Perlu ada upaya berkelanjutan untuk mengembangkan dan menyempurnakan fitur-fitur dalam aplikasi SPSE agar dapat memfasilitasi seluruh tahapan proses RO secara lebih spesifik, transparan, dan akuntabel. Ini termasuk fitur untuk pencatatan riwayat RO, pemantauan batasan frekuensi dan waktu, serta integrasi dengan SIKaP.
- Peningkatan Efektivitas Pengawasan dan Audit: Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) di setiap K/L/PD, serta aparat pengawas eksternal, perlu memiliki pemahaman yang baik dan mendalam mengenai mekanisme dan potensi risiko dalam pelaksanaan RO. Pengawasan dan audit harus dilakukan secara reguler dan berbasis risiko untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan.
- Pengembangan Mekanisme Umpan Balik dan Evaluasi: Perlu dibangun mekanisme yang memungkinkan penyedia barang/jasa dan masyarakat umum untuk memberikan umpan balik terkait pelaksanaan RO. Selain itu, LKPP atau lembaga riset independen sebaiknya melakukan studi empiris secara berkala untuk mengevaluasi efektivitas penerapan RO, mengidentifikasi praktik-praktik baik, serta menganalisis dampak RO terhadap persaingan usaha dan pencapaian value for money. Hasil studi ini dapat menjadi masukan berharga untuk penyempurnaan kebijakan RO di masa mendatang. Kebijakan terkait RO ke depan sebaiknya didasarkan pada bukti empiris yang kuat, bukan hanya berdasarkan asumsi atau pertimbangan teoritis semata.
Dengan implementasi yang cermat, didukung oleh SDM yang kompeten, regulasi yang jelas, sistem informasi yang handal, dan pengawasan yang efektif, mekanisme Repeat Order dapat menjadi alat yang berharga untuk mewujudkan pengadaan barang/jasa pemerintah yang lebih efisien, efektif, dan akuntabel di Indonesia.
Referensi
- jdih.pu.go.id, accessed May 22, 2025, https://jdih.pu.go.id/internal/assets/assets/produk/SEMenteriPUPR/2022/08/2022SEMenteriPUPR17.pdf
- peraturan.bpk.go.id, accessed May 22, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/211174/Peraturan%20Lembaga%20Nomor%205%20Tahun%202022.pdf
- Repeat Order Pekerjaan Konsultansi Konstruksi | PDF – Scribd, accessed May 22, 2025, https://id.scribd.com/document/719150907/Repeat-Order-Pekerjaan-Konsultansi-Konstruksi
- Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 12 Tahun 2021, accessed May 22, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/Details/161828/perpres-no-12-tahun-2021
- lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah – Peraturan BPK, accessed May 22, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/Download/330614/Peraturan%20Lembaga%20Nomor%2012%20Tahun%202021.pdf
- Permintaan Berulang untuk Penyedia Jasa Konsultansi Konstruksi …, accessed May 22, 2025, https://christiangamas.net/permintaan-berulang-untuk-penyedia-jasa-konsultansi-konstruksi-berdasarkan-peraturan-lkpp-no-12-tahun-2021/
- Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Penyedia – Peraturan BPK, accessed May 22, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/Details/169565/peraturan-lkpp-no-12-tahun-2021
- Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 4 Tahun 2024, accessed May 22, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/Details/314291/peraturan-lkpp-no-4-tahun-2024
- LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH Yth. 1. Para Menteri, accessed May 22, 2025, https://wplibrary.co.id/sites/default/files/SE-KA-LKPP-8-2024.pdf
- Perpres No. 46 Tahun 2025 Tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah Resmi Diterbitkan | LINTASDIKLAT, accessed May 22, 2025, https://www.lintasdiklat.id/perpres-no-46-tahun-2025-tentang-pengadaan-barang-jasa-pemerintah-resmi-diterbitkan/
- Matriks-Perbandingan-Perpres-PBJ-2021-dengan-2025.pdf, accessed May 22, 2025, https://kaltara.bpk.go.id/wp-content/uploads/2025/05/Matriks-Perbandingan-Perpres-PBJ-2021-dengan-2025.pdf
- www.lintasdiklat.id, accessed May 22, 2025, https://www.lintasdiklat.id/wp-content/uploads/2025/05/Matriks-Perbandingan-Perpres-PBJ-2021-dengan-2025.pdf
- Surat Edaran Kepala LKPP Nomor 3 Tahun 2022 … – LPSE, accessed May 22, 2025, https://lpse.ngadakab.go.id/eproc4/publik/detil_special?beritaId=466310
- Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan … – JDIH PU, accessed May 22, 2025, https://jdih.pu.go.id/detail-dokumen/SEMenteriPUPR-nomor-17-tahun-2022-Pedoman-Operasional-Tertib-Penyelenggaraan-Penunjukan-Langsung-Permintaan-Berulang-Repeat-Order-Dalam-Pengadaan-Pekerjaan-Konstruksi-Di-Kementerian-Pekerjaan-Umum-Dan-Perumahan-Rakyat
- Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14/SE/M/2024 tentang Pedoman Penunjukan Langsung Permintaan Berulang (Repeat Order) Dalam Pengadaan Jasa Konsultansi di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat – JDIH, accessed May 22, 2025, https://jdih.pu.go.id/detail-dokumen/SEMenteriPUPR-nomor-14-tahun-2024-Pedoman-Penunjukan-Langsung-Permintaan-Berulang-Repeat-Order-Dalam-Pengadaan-Jasa-Konsultansi-di-Kementerian-Pekerjaan-Umum-dan-Perumahan-Rakyat
- DIREKSI PT BARATA INDONESIA (Persero), accessed May 22, 2025, https://www.barata.id/wp-content/uploads/2020/10/Kebijakan-Pengadaan-Final-2020.pdf
- Repeat Order di aplikasi SPSE 4.5 – YouTube, accessed May 22, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=iqlufU4D0kA&pp=0gcJCdgAo7VqN5tD
- Repeat Order Jasa Konsultansi di aplikasi SPSE 4.5, accessed May 22, 2025, https://pbj.banjarmasinkota.go.id/2024/12/repeat-order-jasa-konsultansi-di.html
- SIPRAJA – LKPP, accessed May 22, 2025, https://sipraja.lkpp.go.id/page/faq
- Bimtek E-Purchasing dan Pengadaan Langsung Barang/Jasa, accessed May 22, 2025, https://www.bimtekdiklat.co.id/bimtek-e-purchasing-dan-pengadaan-langsung-barang-jasa/
- MATRIKS PERBANDINGAN PERATURAN PRESIDEN NOMOR 16 TAHUN 2018 TENTANG PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH, accessed May 22, 2025, https://sumsel.bpk.go.id/wp-content/uploads/2023/09/Matriks-Perbandingan-Perpres-Nomor-16-Tahun-2018-Dan-Perpres-Nomor-12-Tahun-2021.pdf
- Permasalahan Dalam Pengadaan Barang dan Jasa yang Sering …, accessed May 22, 2025, https://sbunonkonstruksi.com/blog/permasalahan-dalam-pengadaan-barang-dan-jasa-yang-sering-terjadi
- Permasalahan Dalam Pengadaan Barang dan Jasa yang Sering …, accessed May 22, 2025, https://bnsp.net/blog/permasalahan-dalam-pengadaan-barang-dan-jasa-yang-sering-terjadi
- Poin Penting JK berdasarkan Perpres 46 Tahun 2025 – Scribd, accessed May 22, 2025, https://id.scribd.com/document/862584689/Poin-Penting-JK-berdasarkan-Perpres-46-Tahun-2025
- Apa itu Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025? | Khalid Mustafa’s Weblog, accessed May 22, 2025, https://www.khalidmustafa.info/2025/05/06/apa-itu-peraturan-presiden-nomor-46-tahun-2025.php
- 2025perpres46.pdf – JDIH, accessed May 22, 2025, https://jdih.pu.go.id/internal/assets/assets/produk/Perpres/2025/04/2025perpres46.pdf
- Perpres No. 46 Tahun 2025 – Peraturan BPK, accessed May 22, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/Details/318647/perpres-no-46-tahun-2025
